Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 17 Desember 2009

Diposting oleh Unknown

Saya punya kebiasaan SKSDST sama orang, entah sudah kenal, baru kenal, agak-agak kenal atau baru ketemu untuk yang pertama kalinya. Kebiasaan SKSDST itu saya salurkan melalui aktivitas "tersenyum". Sering senyuman saya dibalas dengan senyuman pula, yang dilakukan secara spontan atau pake mikir dulu sepersekian detik oleh si 'korban', beberapa kali dibalas dengan cengiran penuh tanda tanya atau bahkan dipelototin dengan tampang masam dan sisanya dicuekin. (Hihihi...garing deh..)

Beberapa orang mempunyai tanggapan yang berbeda-beda dengan kebiasaan tersenyum saya. Ada yang menganggap saya ramah (duh, jadi tambah semangat untuk tersenyum kalo sudah dipuji, hihihi....) tapi tak sedikit yang 'ngatain' : kurang kerjaan bahkan sok tau/sok akrab. Apapun makanannya, eh salah maksudnya apapun tanggapan orang, sampai hari ini saya masih bertahan dengan hobi tersenyum yang serasa sudah mendarah daging (cie....). Lagipula, tersenyum nggak bayar, tanpa pajak, tidak dilarang, jadi...SMILE MUST GO ON.

Tapi entah mengapa beberapa waktu yang lalu, kebiasaan tersenyum ini membawa saya pada sebuah kerisauan (halah...). Bukan.....bukan pertanyaan seputar kejiwaan mengenai perlukah saya memeriksakan diri ke Rumah Sakit Jiwa terdekat. Saya tersenyumnya bukan tersenyum sendirian kok, hehehe... Masih wajar. (^_^)

Jadi begini ceritanya. Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk ikut melayani di acara Paskah KWD Klasis tempat gereja saya berada. Ketika jemaat dari gereja-gereja lain sudah datang, biasalah tiap kali berpapasan dengan para jemaat baik yang sudah saya kenal maupun yang belum saya kenal, saya tak lupa untuk "triiiing", pamer gigi saya yang tak terlalu putih ini. Kata ibu gigi saya jadi tak seputih gigi di iklan odol akibat dari mengkonsumsi obat-obatan karena saat kecil sakit-sakitan. (Entah benar atau tidak, tapi saya tetap saja PD senyum-senyum). Tapi beberapa kali jurus saya tak mendapat sambutan. Seorang ibu langsung membuang muka ketika saya tersenyum padanya, seorang jemaat dari gereja lain juga malah menunduk, dan beberapa insiden lain sampai saya merasa perlu berlari ke ruang konsisturi dan berdiri di depan kaca besar yang terdapat di salah satu sudut ruang untuk mengecek, jangan-jangan sudah tumbuh taring bak drakula atau ada sisa makanan yang nyelip diantara gigi saya sehingga orang-orang enggan balas tersenyum pada saya. Tapi, semuanya terlihat normal. Maka saya kembali bersemangat untuk tersenyum lagi. Namu alangkah kasihannya saya karena hari itu senyuman saya hanya laku beberapa ulas saja.

Saya jadi bertanya-tanya (karena kebetulan beberapa kali menjumpai senyum yang tak laku kala saya berada di komunitas yang mengaku "saudara seiman"), apakah betul jika tersenyum saja sekarang terasa berat ya? Sementara di luar komunitas saudara seiman, begitu mudah menarik sudut bibir untuk membentuk sebuah senyuman. Kalau tersenyum dengan sesama anak Tuhan juga sudah terasa berat, lantas bagaimana dengan aksi yang lebih daripada sekedar tersenyum? Ah, mungkin saya terlalu berlebihan. Pikiran saya berlari terlalu jauh. Saya jadi teringat kala pertama ikut Kopdar di Solo. Banyak teman-teman blogger yang tidak saya kenal dengan mudah tersenyum dan bersikap ramah dan bersahabat kok, terutama Ari Thok, Masdanes, Cik Joli...hihihi...

Dalam pikiran saya yang sederhana, tersenyum itu suatu anugerah. Ada lho orang yang nggak bisa senyum, hehehe... Jadi jika Tuhan masih ijinkan saya tersenyum, ya saya akan tersenyum, ke siapa saja. Entah dibalas entah tidak, pokoknya senyuuuuuuuuum aja deh!! Dengan senyum, muka garang jadi terlihat manis. Yuk senyum yuuuuk..... (^_^)



*catatan : tulisan ini pernah diposting di http://www.sabdaspace.org/tersenyum pada tanggal 22 Mei 2009

0 komentar: