Minggu, 21 November 2010
Awalnya tak pernah mengira bahwa suatu hari saya akan menjalani hubungan dengan pria asing. Memang sih saya sering iseng, bilang ke beberapa teman, kalau saya sudah capek dengan pria Indonesia dan akan mencoba peruntungan dengan pria bule, hehehehe...
Seorang sepupu bahkan mengingatkan saya. Ceritanya jaman kami masih kecil, kami pernah saling nyeletuk tentang harapan kami tentang pernikahan. Sepupu saya (cewek) bilang, kalau dia ingin nikah muda. Dan itu sudah kejadian. Dia bahkan dah punya baby yang lucu dan cantik. Nah, dia rupanya masih inget celetukan saya waktu itu (saya sendiri malah sudah lupa). Menurut dia, saya bilang gini: "Kalau aku nanti mau nikah sama bule".
Hahahaha...kok bisa ya? Padahal kejadian itu berlangsung saat kami masih remaja belasan tahun :p
Semuanya berawal dari Ibu Pendeta saya. Jika benar suatu hari nanti saya menikah dengan pria bule ini, maka saya harus berterima kasih pada Ibu Pendeta saya karena ini semua terjadi berkat beliau.
Perkenalan saya dengan Steve berawal dari tawaran Roland. Ceritanya dia jadi makcomblang. Saat berkunjung ke Indo entah untuk keberapa kalinya (beliau sering bolak-balik kesini), Roland menawari saya untuk berkenalan dengan seorang pria dari negaranya. Saya setuju saja.
Selang 2 minggu sejak Roland kembali ke negerinya, saya dikenalin sama Steve. Roland membawa beberapa foto saya untuk ditunjukkan pada Steve. Rupanya dia tertarik (Untungnya saya memberikan foto terbaik saya yang telah melewati proses seleksi yang sangat ketat! Hahahaha....) Kemudian kami mulai berkomunikasi via telpon dan email. Sampai kemudian sebuah email dari Roland mengabarkan rencana kedatangan Steve ke Indonesia. Dan dipilihlah tanggal 21 Oktober sebagai hari bersejarah tersebut :))
Kami bertemu di Bali. Pertama melihatnya? Hmm...terus terang biasa saja. Heran, belum timbul rasa tertarik atau apa. 4 hari kemudian ada banyak hal yang membuat saya semakin mengenal Steve. Perjalanan kami bertiga (Roland, Steve dan saya) menuju ke Wonosobo, Salatiga, Jogja dan Bali telah membuka sisi-sisi kepribadian Steve yang lain. Dan saya rasa saya mulai menyukainya.
8 jam sebelum dia terbang kembali ke negerinya, kami menghabiskan waktu berdua dengan bercakap-cakap tentang banyak hal. Kali ini Roland tidak bersama dengan kami. Rupanya dengan berdua saja kami berkesempatan untuk membicarakan beberapa hal yang tidak pernah kami bicarakan sebelumnya. Dan, saya kurang tau apakah ini cinta atau sebuah kebutuhan akan kasih sayang, tapi saya setuju kami berkomitmen untuk bersama dan saling mengenal.
Hal yang jarang terjadi setidaknya dalam 2 tahun ini. Biasanya saya selalu enggan untuk menjalani hubungan dengan seseorang. Sendiri lebih enak. Merasa selalu tidak cocok dan tidak ingin. Tapi kali ini saya pasrah. Saya mau. Saya mengiyakan. Dan, semakin hari bukan semakin ingin mundur, tapi semakin ingin melangkah maju. Semoga ini pertanda baik. Terlebih ketika saya menemukan banyak hal berbeda yang biasanya membuat saya mundur dan menjadi suatu hal yang harus saya pertimbangkan. Kali ini, entah kenapa saya menerima keperbedaan itu sebagai sebuah hal yang wajar.
Saya tau saya harus mengorbankan beberapa hal (yang menurut sebagian besar orang hal tersebut cukup berharga) salah satunya adalah karier. Tapi, lagi-lagi entah kenapa saya merasa tidak keberatan. Saya yakin akan pemeliharaan Tuhan dalam hidup saya (atau kami) nanti jikapun saya melepaskan pekerjaan dan mengikutinya.
Ah, tapi hal-hal tersebut masih terlalu dini untuk disebutkan. Biarlah sekarang kami (saya tepatnya) menikmati setiap kuntum yang mekar. Menikmati setiap warna yang walaupun berbeda tapi membawa keindahan di dalamnya. Biarkan saya menikmati setiap detik perasaan mencinta dan dicinta, hingga akhirnya Tuhan menetapkan kearah mana kami akan dibawa selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar